Masa Perjuangan RA Kartini
Ilustrasi. Perjuangan RA Kartini untuk kesetaraan perempuan (Collectie Stichting Nationaal Museum van Wereldculturen via Wikimedia Commons)
Kartini lahir di Mayong, Jepara pada 21 April 1879 dari pasangan Raden Mas Sosroningrat dan Mas Ajeng Ngasirah. Lahir dari keluarga priyayi, bagian depan nama Kartini pun ditambahkan Raden Ajeng (R.A).
Sosroningrat merupakan Pangeran Ario (P.A) Tjondronegoro IV yang merupakan Bupati Kudus. Sosroningrat memiliki delapan anak dari pernikahannya dengan Ngasirah di antaranya, Kartini dan adiknya, Raden Ajeng Kardinah yang begitu dekat dengannya.
Namun, Sosroningrat kembali menikah tahun 1875 dengan Raden Ajeng Woerjan atau Moerjam, putri Bupati Jepara kala itu. Karena anggota keluarga bangsawan, status Moerjam adalah istri utama atau garwa padmi.
Pernikahannya dengan Moerjam dikaruniai tiga anak perempuan, salah satunya Raden Ajeng Roekmini yang memiliki kedekatan dengan Kartini.
Sejak kecil, Kartini dikenal sebagai anak yang lincah dan aktif bergerak. Hal itu juga ia utarakan dalam suratnya kepada Estelle Zee-handelaar tanggal 18 Agustus 1899:
"Saya disebut kuda kore atau kuda liar. Karena saya jarang berjalan, tetapi selalu melompat atau melonjak-lonjak. Dan karena sesuatu dan lain hal lagi saya dimaki-maki juga sebab saya sering sekali tertawa terbahak-bahak dan memperlihatkan banyak gigi yang dinilai perbuatan tidak sopan" (Sutrisno, 2014:15).
Bahkan, ayah dan kakaknya pun memberikan gelar Trinil yang sering disebut "Nil". Trinil merupakan nama burung kicau yang kecil dan lincah.
Pada 1885 Kartini dimasukkan ke Sekolah Dasar Eropa atau Europesche Lagere School (ELS). Hal itu cukup bertentangan dengan tradisi kaum bangsawan yang melarang putrinya ke luar rumah.
Di ELS, Kartini menarik perhatian orang Eropa dengan kemampuan berbahasa Belandanya. Pengetahuan Kartini semakin bertambah.
Di usianya yang masih belia, dia sudah memahami pemikiran dan perjuangan pejuang wanita dari India, Pundita Rumambai. Hal itu diceritakannya kepada Nyonya Van Kol.
Kecakapan Kartini membuatnya bisa bergaul dengan pribumi dan orang dewasa dari Belanda. Kartini memiliki sahabat bernama Letsy Detmar, anak kepala sekolah.
Dia juga menjalin hubungan baik dengan istri asisten residen Jepara Nyonya Marie Ovink-Soer di lingkungan rumahnya.
Kartini selalu bersama Roekmini dan Kardinah sehingga disebut "Het Klaverblad" atau daun semanggi dan "Tiga Saudara" oleh Marie Ovink-Soer.
Awal 1892, Kartini yang belum genap 13 tahun lulus dari ELS dan harus menjalani pingitan yang sesuai dengan tradisi bangsawan. Padahal, dia ingin meneruskan pendidikannya ke HBS Semarang tetapi ditolak oleh ayahnya.
Masa pingitan selama empat tahun yang menyedihkan itu dijalaninya dengan membaca buku.
Bacaan yang disukainya adalah buku pengetahuan karena membuatnya lupa akan kesedihan hidup yang harus dijalani. Buku-buku tersebut akan terus dibaca dan dibuatkan catatan kecil yang berisi tema-tema bernilai penting.
Ayahnya dan kakaknya, R.M. Sosrokartono, menjadi orang yang bersedia memenuhi kebutuhan Kartini akan bahan bacaan.
R.A Soelastri, kakak perempuan tertua, akhirnya menikah dan membuat Kartini menempati posisinya di rumah tersebut. Roekmini dan Kardinah pun memasuki masa pingitan.
Kartini kembali merajut kebersamaan dengan Roekmini dan Kardinah selama masa pingitan. Hak Kartini untuk mengatur adik-adiknya dimanfaatkannya mengubah beberapa tradisi feodal.
Baca juga kisah tentang pahlawan lainnya:
Adik-adik Kartini tidak lagi harus menyembah dirinya dan tidak wajib berbicara dengan bahasa Jawa krama inggil. Perubahan yang dilakukan oleh Kartini merupakan bentuk perombakan terhadap tradisi yang sudah mengakar kuat dalam kalangan bangsawan.
Meski demikian, Kartini tetap memberikan hormat kepada orang yang lebih tua sebagaimana lazimnya adat dalam kalangan bangsawan.
Pengaruh Kartini tertanam kuat pada Roekmini dan Kardinah. Mereka bertekad untuk mendukung gagasan kakaknya. Tiga saudara sepakat bahwa kemajuan suatu masyarakat tidak akan tercapai tanpa memajukan terlebih dahulu kaum perempuan.
Kartini, Roekmini dan Kardinah memanfaatkan kelonggaran yang diberikan untuk mengembangkan potensi diri.
Kondisi tersebut dicermati dengan baik oleh Sosroningrat sehingga memutuskan membebaskan anak-anak perempuannya dari tradisi pingitan. Pada 2 Mei 1898 kurungan tiga saudara dibuka.
Mereka pun mulai turun ke desa-desa melakukan dialog dengan masyarakat tentang masalah yang dihadapi. Salah satunya adalah masalah para pengrajin ukir di Kampung Belakanggunung yang dihargai tidak setimpal dengan jerih payah mereka.
Kartini yang gemar membaca buku juga berbakat dalam menulis. Bahkan, cita-citanya adalah menjadi guru. Meski begitu, Kartini merasa sulit melanjutkan pendidikan ke Belanda karena membutuhkan biaya yang besar, sedangkan gaji ayahnya tidak cukup.
Berbagai upaya pernah dilakukan Kartini seperti mencari beasiswa ke Belanda. Namun hal itu kandas karena tidak diizinkan oleh orang tuanya.
September 1901, pemerintah Belanda mengumumkan politik kolonial baru. Ratu Wilhelmina memproklamasikan berlakunya politik etis yang mengharuskan pemerintah menyejahterakan masyarakat jajahan di Hindia Belanda.
Gagasan dan cita-cita Kartini mulai menjadi perhatian pemerintah Hindia Belanda. Pendapat Kartini menjadi rujukan kebijakan pemerintah yang terkait dengan pendidikan dan perempuan.
Pada 8 Agustus 1900 Kabupaten Jepara dikunjungi tamu istimewa J.H. Abendanon yang menjabat sebagai Direktur Departemen Pendidikan, Kerajinan, dan Agama. Tujuan kedatangannya adalah untuk menjelaskan rencana pendirian kostschool untuk gadis-gadis bangsawan.
Kartini mendukung rencana tersebut karena akan menambah pengetahuan kaum perempuan, sehingga mereka akan menyadari hak-haknya yang selama ini terampas.
Kartini memberi masukan kepada J.H. Abendanon agar pemerintah juga membuka pendidikan kejuruan, sehingga perempuan memiliki keterampilan yang menjadikannya lebih mandiri. Sebab selama ini kedudukan perempuan sangat lemah dan bergantung pada laki-laki.
Penjelasan Kartini membuat J.H.Abendanon terkesan. Dia pun menyampaikan ingin memberikan Kartini kesempatan sekolah dokter. Namun sayang, lagi-lagi keinginan Kartini bersekolah kandas. Ayahnya menolak masuk sekolah dokter karena dominan murid laki-laki.
Meski begitu, Sosroningrat mengizinkan Kartini untuk mengikuti pendidikan guru sesuai cita-citanya sejak kecil. Pertimbangannya karena Kartini dicalonkan menjadi direktris kostschool yang akan didirikan pemerintah.
Abendanon dan Sosroningrat pernah berdiskusi di Jepada dan Batavia yang menghasilkan kesimpulan perlunya didirikan sekolah untuk perempuan di Jawa. Melalui surat edaran pada 20 November 1900 No 15336, Abendanon meminta para bupati memberikan pendapat tentang rencana tersebut.
Namun sebagian besar bupati menolak karena aturan adat bangsawan tidak mengizinkan anak perempuan dididik di luar. Harapan Kartini untuk ikut pendidikan guru pun sirna. Berbagai rintangan datang bertubi-tubi. Sempat putus asa tetapi akhirnya Kartini bangkit kembali.
Berbagai kesempatan dicobanya untuk meraih pendidikan. Salah satunya dia menemui Van Kol dan menguraikan pemikirannya tentang persamaan derajat laki-laki dan perempuan.
Kemampuan Kartini yang dianggap luar biasa mendorong Van Kol untuk membantunya mendapatkan pendidikan ke Belanda dengan biaya dari pemerintah. Dia berjanji akan memperjuangkan keinginan Kartini dan Roekmini belajar ke Belanda.
Salah satu syarat permohonan beasiswa ke pemerintah adalah izin orang tua. Tanpa disangka, orang tua Kartini memberikan izin untuk keinginannya tersebut.
Meski begitu banyak pihak yang berusaha menggagalkan keinginan Kartini. Salah satunya dilakukan oleh Abendanon dan istri yang mempengaruhi Kartini untuk belajar di Batavia daripada Belanda.
Suatu ketika, Abendanon menemui Kartini di Jepara untuk mempengaruhinya agar membatalkan keinginannya belajar di Belanda tetapi Batavia. Tanpa diduga, Kartini menyetujuinya.
Keputusan tersebut membuat teman-temannya di Belanda kecewa. Mereka merasa dikhianati setelah memperjuangkan dukungan Kartini sekolah di Belanda.
Meski demikian, surat permohonan Kartini dan Roekmini untuk belajar di Batavia tidak segera dijawab oleh pemerintah. Mereka memutuskan untuk membuka sekolah bagi anak-anak perempuan di pendopo kabupaten pada Juni 1903.
Sekolah itu menekankan pada pembinaan budi pekerti dan karakter anak. Semua aktivitas di sekolah didasari perasaan saling menyayangi dan mencintai.
Sekolah tersebut juga lepas dari pengaruh pemerintah. Kartini mengatur sekolah sesuai dengan gagasan yang ada dalam dirinya. Kebanyakan muridnya adalah anak priyayi di Jepara.
Kartini banyak menghabiskan waktu memikirkan pengelolaan sekolah yang baru didirikannya karena minat masyarakat yang ingin menyekolahkan anaknya terus bertambah.
Hingga akhirnya konsentrasi Kartini terpecah setelah datang utusan dari Bupati Rembang Raden Adipati Djojo Adiningrat yang membawa surat lamaran. Hal itu disambut bahagia oleh Sosroningrat.
Meski demikian, Sosroningrat menyerahkan keputusan pada Kartini. Tentu saja kebimbangan Kartini muncul dalam mengambil keputusan.
Kartini mulai berpikir menghitung keuntungan dan kerugian jika menerima atau menolak lamaran tersebut. Keinginan untuk membahagiakan orang tua dan membahagiakan dirinya menjadi alat untuk menimbang keputusan yang akan diambilnya.
Dengan berat hati, Kartini memutuskan menerima lamaran tersebut. Namun ada syarat yang harus dipenuhi oleh Raden Adipati Djojo Adiningrat yaitu:
Setelah Kartini menerima surat lamaran, dia menerima Surat Keputusan Gubernur Jenderal tentang pendidikannya ke Batavia. Namun surat itu sudah tidak berarti karena Kartini akan menikah dan Roekmini tidak mungkin pergi sendiri.
Kartini menuliskan surat kepada istri Abendanon untuk memberikan beasiswa tersebut pada seorang anak bernama Salim dari Riau yang ingin bersekolah di HBS Batavia.
Kartini menikah pada 8 November 1903. Setelah pesta pernikahannya, Kartini mencurahkan perhatiannya dalam pendirian organisasi para bangsawan bumiputera di Jawa dan Madura.
Pada 13 September 1904, Kartini melahirkan seorang anak laki-laki bernama Soesalit Djojoadiningrat. Empat hari setelah melahirkan, Kartini wafat.
Kepergian Kartini mengejutkan banyak pihak seperti suami, ayah, kakak, dan adiknya, serta rekan-rekan Kartini yang selalu mendukung prosesnya mengenyam pendidikan.
Kartini disemayamkan di Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Rembang. Penghormatan banyak disampaikan kepadanya. Pemikirannya juga diingat oleh penduduk di Rembang dan Jawa.
Demikian perjuangan RA Kartini untuk membuat perempuan setara dan mendapatkan haknya. Selamat Hari Kartini!
Kartini lahir pada 21 April 1879 di Mayong, sebuah kota kecil yang masuk dalam wilayah Karesidenan Jepara. Pejuang emansipasi wanita ini lahir dalam lingkungan keluarga priyayi dan bangsawan, karena itu ia berhak menambahkan gelar Raden Ajeng (RA) di depan namanya.
Kartini lahir dari pasangan Raden Mas (RM) Sosroningrat dan Mas Ajeng Ngasirah. Ayahnya, RM Sosroningrat, merupakan anak dari Pangeran Ario (PA) Tjondronegoro IV. Dilihat dari silsilah keluarga, masih keturunan dari Prabu Brawijaya Raja Majapahit terakhir.
Sementara sang Ibu, Mas Ajeng Ngasirah merupakan anak dari pasangan Kyai Haji Modirono dan Nyai Haji Siti Aminah. Mas Ajeng Ngasirah merupakan perempuan desa yang memiliki kedudukan terhormat di tengah masyarakat karena bapaknya merupakan ulama di Desa Teluk Awur, Jepara.
Ayah dan Ibu Kartini menikah pada tahun 1872. Namun, sang Ayah menikah lagi dengan Raden Ajeng Woerjan atau Moerjam, puteri Bupati Jepara pada 1875.
Meskipun Ibu dari RA Kartini merupakan istri pertama, namun bukanlah istri utama. Kedudukan Raden Ajeng Woerjan sebagai keluarga bangsawan menjadikannya sebagai isteri utama RM Sosroningrat yang disebut dengan garwa padmi atau raden ayu. Tugasnya mendampingi suami pada saat upacara-upacara resmi.
Kartini merupakan anak ke 5 dari 11 bersaudara kandung dan tiri. Namun ia merupakan anak perempuan tertua dari semua saudara sekandungnya.[1]
Setelah dewasa, Kartini dipersunting oleh Bupati Rembang Raden Adipati Djojo Adiningrat pada 8 November 1903. RA Kartini tutup usia pada 17 September 1903. RA Kartini wafat di usia yang masih sangat muda, 25 tahun.
Sosok Kartini lahir dengan kondisi yang sehat. Ia memiliki rambut hitam dan tebal. Matanya bundar, seperti bayi Jawa pada umumnya.
Pertumbuhan fisik dan motorik Kartini berjalan lebih cepat dibanding anak-anak lain seusianya. Di usia 8 bulan, Kartini sudah mampu untuk berjalan sendiri.
Tak hanya pertumbuhan fisik, tingkat kecerdasan dalam berpikir Kartini juga berkembang pesat. Hal ini ditunjukan dengan sifat selalu ingin tahu. Kartini kecil pun dikenal sebagai anak lincah yang sangat aktif bergerak.
RA Kartini bersama dua saudaranya, RA Roekmini dan RA Kardinah dibesarkan dalam lingkungan kabupaten yang serba berkecukupan. Karena itu mereka tumbuh menjadi anak yang sehat dan cerdas.
Pada 1885 Kartini dimasukan ke sekolah dasar Eropa atau Europeesche Lagere School (ELS). Padahal, kala itu kaum bangsawan melarang keras puteri-puterinya keluar rumah, apalagi datang ke sekolah setiap hari belajar bersama anak laki-laki.
ELS sendiri merupakan sekolah khusus yang diperuntukkan bagi anak-anak Bangsa Eropa dan Belanda Indo. Anak pribumi yang diizinkan mengikuti pendidikan di sekolah tersebut hanyalah anak dari pejabat tinggi pemerintah.
Kartini cukup populer di sekolahnya. Hal ini lantaran sifatnya yang luwes, periang, dan pandai.
Bahkan keberadaan Kartini di ELS cukup menarik perhatian banyak orang Eropa. Pasalnya ia menjadi siswa pribumi yang mampu berbahasa Belanda dengan baik.
Kemampuan tersebut tentunya tidak didapat secara instan. Kartini latihan bahasa Belanda dengan cara rajin membaca buku dan koran berbahasa Belanda, serta mempraktekkan bahasa Belanda pada saat bermain dan menemui tamu-tamu bangsa Belanda yang datang di kabupaten.
Tak hanya itu, hari-hari Kartini juga dipenuhi dengan belajar membaca Al-Qur’an, belajar bahasa Jawa, berlatih menyulam dan menjahit. Orang tua Kartini berusaha memberikan pendidikan yang seimbang antara otak dan akhlak, sehingga dihasilkan anak-anak berkualitas yang berwatak baik dan berperikemanusiaan.
Awal 1892 Kartini dinyatakan lulus dari ELS dengan nilai yang cukup baik. Ia pun sangat berharap sang ayah yang berpikiran maju akan mengizinkannya untuk melanjutkan pendidikan di HBS Semarang. Kartini berlutut di hadapan Bupati RM Sosroningrat untuk memperoleh izin. Sayangnya, jawaban “Tidak” yang cukup tegas harus diterima Kartini.
Jawaban menyakitkan dan mengecewakan itu menjadi awal mula “penjara” dan “perjuangan” Kartini.[1]
Kartini menjalani pengitan dengan berdiam diri di rumah. Ia dipaksa belajar menjadi puteri bangsawan sejati yang selalu diam seperti boneka. Dibiasakan untuk berbicara dengan suara halus dan lirih, serta masih banyak lagi aturan-aturan adat yang harus dipatuhi olehnya.[1]
Meskipun berada di rumah, RA Kartini aktif dalam melakukan korespondensi atau surat-menyurat dengan temannya yang berada di Belanda. Sebab, ia juga fasih dalam berbahasa Belanda. Dari sinilah Kartini mulai tertarik dengan pola pikir perempuan Eropa, hingga kemudian ia mulai berpikir untuk berusaha memajukan perempuan pribumi.
Hal ini lantaran dalam pikirannya, kedudukan wanita pribumi masih tertinggal jauh atau memiliki status sosial yang cukup rendah kala itu.
Di usianya yang ke 20, Kartini banyak membaca surat kabar atau majalah-majalah kebudayaan Eropa yang menjadi langganannya yang berbahasa Belanda. Adapun buku-buku yang menjadi bacaannya adalah buku karya Louis Couperus yang berjudul De Stille Kracht, karya Van Eeden, Augusta de Witt serta berbagai roman-roman beraliran feminis yang kesemuanya berbahasa Belanda. Selain itu ia juga membaca buku karya Multatuli yang berjudul Max Havelaar dan Surat-Surat Cinta.
Ketertarikannya membaca kemudian membuat ia memiliki pengetahuan yang cukup luas tentang ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Khususnya, yang menjadi perhatian Kartini adalah masalah emansipasi wanita, dengan melihat perbandingan antara wanita Eropa dan wanita pribumi kala itu.
Selain itu, Kartini juga menaruh perhatian pada masalah sosial. Di mana menurutnya wanita perlu memperoleh persamaan kebebasan, otonomi, serta kesetaraan hukum.
Pikiran-pikiran dan keluhan atas kondisi wanita pribumi ini disampaikan Kartini kepada teman wanita Belanda nya yakni Rosa Abendanon dan Estelle “Stella” Zeehandelaar. Kedua temannya tersebut juga mendukung pemikiran-pemikiran yang diungkapkan Kartini.[2]
Pertengahan Juli 1903 datang utusan Bupati Rembang Raden Adipati Djojo Adiningrat membawa surat lamaran untuk Kartini. Bupati Sosroningrat sangat bahagia menerima surat lamaran tersebut karena ada bangsawan dengan kedudukan tinggi melamar Kartini. Kendati demikian, Bupati Sosroningrat tetap menyerahkan keputusannya kepada anaknya.
Bupati Sosroningrat pun dengan hati-hati menyampaikan surat lamaran tersebut agar jangan sampai menyinggung perasaan sang anak. Kartini diberikan waktu untuk berpikir secara jernih, apakah mau menerima atau menolak lamaran tersebut.
Sembari memberi waktu pada Kartini untuk membuat keputusan, Bupati Sosroningrat menyampaikan sejumlah pertimbangan-pertimbangan kepada Kartini. Salah satunya, diungkapkan bahwa calon suaminya tersebut adalah bupati yang sudah berpikiran maju.
Kartini mohon izin kepada ayahnya diberikan waktu 3 hari untuk memikirkan jawaban dari surat lamaran tersebut. Kartini lantas mulai berpikir menghitung keuntungan dan kerugian jika menerima atau menolak lamaran tersebut.
Ia ingin memenuhi keinginan untuk membahagiakan orang tua dan membahagiakan dirinya. Dua hal tersebut menjadi alat untuk menimbang keputusan yang akan diambilnya. Dengan berbagai pertimbangan tersebut, ia pun memutuskan menerima lamaran Raden Adipati Djojo Adiningrat dengan sejumlah syarat. Adapun syarat tersebut yakni:
Syarat tersebut pun disetujui. Pernikahan Kartini semula direncanakan pada 12 November 1903, namun atas permintaan Bupati Rembang dimajukan menjadi 8 November 1903.
Pernikahan tersebut dilaksanakan di Jepara dengan cara yang sederhana dan dihadiri oleh saudara-saudara dekat kedua mempelai.
Pernikahan tersebut dilaksanakan dengan mencerminkan pemikiran kesetaraan dari Kartini. Pasalnya dalam prosesi pernikahannya, tidak disertai upacara mencium kaki mempelai laki-laki oleh mempelai perempuan sesuai dengan permintaan Kartini.
Selain itu, mempelai laki-laki mengenakan pakaian dinas, sementara Kartini memakai pakaian seperti keseharian biasa.
Tiga hari setelah pernikahan, Kartini pindah ke Rebang. Ia menjalani aktivitas sebagai istri dan menjalankan sebuah sekolah wanita yang didirikannya.
Namun, kondisi fisik Kartini mulai menurun saat mengandung anak pertamanya. Tanggal 7 September 1903 Kartini sempat menulis surat kepada Nyonya Abendanon yang sudah mengirimkan hadiah untuk bayinya nanti.
Kartini menceritakan kondisi kehamilannya, yang menurutnya tidak akan lama segera lahir seorang anak darinya.[1]
Tanggal 13 September 1903 Kartini melahirkan seorang anak laki-laki dengan selamat bernama Soesalit Djojoadhiningrat.[2] Setelah melahirkan kondisi Kartini nampak sehat dan berseri-seri, karena itu dokter yang membantu persalinan kembali ke kotanya.
Tanpa sebab yang jelas kondisi tubuh Kartini melemah, dokter tidak bisa mengembalikan kesehatan tubuhnya. Pada 17 September 1903 akhirnya Kartini wafat dalam usia yang masih sangat muda 25 tahun.[1]
Setelah Kartini wafat, Mr. JH Abendanon mengumpulkan dan membukukan surat-surat yang pernah dikirimkan RA Kartini pada teman-temannya di Eropa. Abendanon saat itu menjabat sebagai Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda.
Buku itu diberi judul ‘Door Duisternis tot Licht’ yang arti harfiahnya “Dari Kegelapan Menuju Cahaya”.
Buku kumpulan surat Kartini ini pertama kali diterbitkan pada tahun 1911. Kemudian dicetak sebanyak lima kali, dan pada cetakan terakhir terdapat tambahan surat Kartini.
Pada tahun 1922, Balai Pustaka menerbitkannya dalam bahasa Melayu dengan judul yang diterjemahkan menjadi ‘Habis Gelap Terbitlah Terang: Boeah Pikiran’, yang merupakan terjemahan oleh Empat Saudara.
Kemudian tahun 1938, keluarlah ‘Habis Gelap Terbitlah Terang’ versi Armijn Pane seorang sastrawan Pujangga Baru. Armijn membagi buku menjadi lima bab pembahasan untuk menunjukkan perubahan cara berpikir Kartini sepanjang waktu korespondensinya. Versi ini sempat dicetak sebanyak sebelas kali.
Surat-surat Kartini dalam bahasa Inggris juga pernah diterjemahkan oleh Agnes L Symmers. Selain itu, surat-surat Kartini juga pernah diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa Jawa dan Sunda.
Terbitnya surat-surat Kartini, seorang perempuan pribumi, sangat menarik perhatian masyarakat Belanda, dan pemikiran-pemikiran Kartini mulai mengubah pandangan masyarakat Belanda terhadap perempuan pribumi di Jawa. Pemikiran-pemikiran Kartini yang tertuang dalam surat-suratnya juga menjadi inspirasi bagi tokoh-tokoh kebangkitan nasional Indonesia, antara lain WR Soepratman yang menciptakan lagu berjudul ‘Ibu Kita Kartini’.[3]
Dero.desa.id – Setiap tanggal 21 April, bangsa Indonesia memperingati Hari Lahir RA Kartini, seorang pahlawan nasional yang mempelopori perjuangan emansipasi wanita. Di balik peringatan ini, terukir kisah panjang perjuangan Kartini yang sarat makna dan inspirasi.
Raden Ajeng Kartini, atau yang akrab disapa RA Kartini, lahir di Rembang, Jawa Tengah, pada tanggal 21 April 1879. Ia adalah putri bangsawan Rembang yang dibesarkan dalam lingkungan feodal yang masih kental dengan tradisi patriarki. Hal ini membangkitkan keprihatinan Kartini terhadap nasib wanita Indonesia yang saat itu masih terbelenggu oleh berbagai keterbatasan dan diskriminasi.
Apa yang dilakukan RA Kartini?
Terdorong oleh keprihatinan tersebut, Kartini mulai aktif menulis surat-surat yang berisi pemikirannya tentang pentingnya pendidikan dan emansipasi wanita. Surat-suratnya ini kemudian dikumpulkan dan diterbitkan menjadi buku berjudul "Habis Gelap Terbitlah Terang" yang menjadi salah satu karya sastra paling berpengaruh dalam sejarah Indonesia.
Kapan Kartini memulai perjuangannya?
Perjuangan Kartini dimulai sejak masa mudanya. Sejak kecil, Kartini sudah menunjukkan minat yang besar terhadap pendidikan. Ia bahkan nekat belajar sendiri karena tidak diizinkan melanjutkan pendidikan ke sekolah formal karena statusnya sebagai bangsawan.
Di mana Kartini berjuang?
Perjuangan Kartini tidak hanya terbatas di Rembang, tempat kelahirannya. Ia juga aktif menjalin komunikasi dengan berbagai tokoh penting di berbagai daerah di Indonesia untuk menyebarkan ide-ide tentang pendidikan dan emansipasi wanita.
Mengapa perjuangan RA Kartini penting?
Perjuangan RA Kartini sangatlah penting bagi kemajuan bangsa Indonesia. Ia telah membuka jalan bagi wanita Indonesia untuk mendapatkan pendidikan yang layak dan hak-hak yang sama dengan pria. Semangat emansipasi wanita yang dipeloporinya telah menginspirasi banyak wanita Indonesia untuk meraih cita-cita mereka dan berkontribusi bagi kemajuan bangsa.
Bagaimana warisan RA Kartini masih relevan hingga saat ini?
Meskipun telah lebih dari 100 tahun berlalu sejak wafatnya, warisan RA Kartini masih relevan hingga saat ini. Semangat emansipasi wanita yang dipeloporinya masih menjadi landasan bagi perjuangan wanita Indonesia untuk mencapai kesetaraan gender dan keadilan sosial.
Peringatan Hari Lahir RA Kartini menjadi momen penting untuk mengenang perjuangannya dan melanjutkan cita-citanya untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan sejahtera bagi semua. ( By : Wo Thekle)
Baca Juga Berita Sebelumnya:
KOMPAS.com - Sosok Raden Ajeng Kartini telah mahsyur di masyarakat Indonesia. Kegemarannya mengungkapkan pandangan dan pikirannya melalui tulisan, nama RA Kartini menjadi abadi, dengan ditetapkan sebagai salah satu pahlawan nasional Indonesia.
Hari lahirnya, 21 April, dirayakan sebagai salah satu hari peringatan nasional yaitu Hari Kartini.
Wanita kelahiran Jepara, Jawa Tengah ini mernjadi sosok figur emansipatoris, berjuang keras untuk kesetaraan bagi para wanita di Indonesia.
RA Kartini memperjuangkan kesetaraan wanita karena saat itu keberadaan kaum hawa seringkali tidak dihargai, termasuk tak diberikan hak untuk mendapatkan pendidikan yang layak.
Kartini sebenarnya hanyalah seorang perempuan Jawa biasa yang lahir di keluarga bangsawan. Gagasan yang dimilikinya telah menjadikan sejarah mengenangnya sebagai sosok luar biasa.
Baca juga: Meneladani Kartini, Para Peneliti Perempuan Berjuang untuk Kemajuan Riset di Indonesia
Sebagai seorang putri dari Bupati Jepara Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, Kartini memang beruntung bisa mengenyam pendidikan walaupun masih dalam keterbatasan. Pendidikan tersebut mampu membuatnya membaca dan menulis, bahkan dalam bahasa Belanda.
Kakeknya, Pangeran Ario Tjondronegoro IV dari Demak, juga dikenal sebagai bangsawan yang terbuka terhadap peradaban barat.
Sikap terbuka ini juga diwariskan ayah Kartini, yang menyebabkan anak perempuannya dapat berinteraksi dengan beberapa orang Belanda.
Salah satu orang Belanda yang berpengaruh dalam hidup Kartini adalah Marie Ovink-Soer, istri dari seorang pegawai administrasi kolonial Hindia-Belanda di Jawa Tengah.
Ovink-Soer menjadi sahabat RA Kartini untuk mencurahkan hati akan banyak hal, terutama kondisi perempuan yang dikekang adat dan tradisi.
Berkat sahabatnya ini pun, Kartini mengenal gerakan feminisme di Belanda sejak usia 20 tahun, dengan diperkenalkan pada jurnal beraliran feminisme De Hollandshce Lelie.
Di jurnal inilah perempuan kelahiran 21 April 1879 tersebut menuliskan keinginannya memiliki sahabat pena dari Belanda.
Keinginannya pun bersambut dengan pegawai pos bernama Estella Zeehandelar menanggapi dan mengirim surat kepada Kartini. Korespondensi Kartini dengan Stella membuat pemikirannya semakin terbuka.
Baca juga: RA Kartini, Putri Jawa Pejuang Emansipasi dan Sejarah Hari Kartini
Tulisan RA Kartini dalam surat-suratnya menjadi rekaman pemikiran dan gagasan yang dianggap luar biasa, dengan bercerita mengenai kondisi perempuan yang merasa terkekang, bahkan tidak bisa memilih masa depannya sendiri.
Kartini pun bercerita mengenai banyak hal, mengenai bangsanya yang menderita karena penjajahan, keresahannya mengenai agama, hingga kepeduliannya akan pendidikan.
Selain kepada dua orang warga Belanda tersebut, Kartini juga menulis surat kepada Rosa Abendanon, istri dari JH Abendanon, Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda.
JH Abendanon mengumpulkan surat-surat Kartini dan menjadikannya sebuah buku berjudul Door Duisternis tot Licht (1911). Buku ini diterjemahkan oleh sastrawan Armijn Pane pada 1939 dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang.
Buku ini diterbitkan Balai Pustaka, kemudian menjadikan nama Kartini besar dan dicatat sejarah sampai saat ini.
Baca juga: Polemik Usai Terbitnya Buku Kartini, Habis Gelap Terbitlah Terang
Raden Ajeng Kartini dianggap menginspirasi gerakan emansipasi perempuan di Indonesia.
Tuntutan kesetaraan gener dan persamaan hak-hak perempuan dengan laki-laki, termasuk hak mengenyam pendidikan, kini menjadi lebih vokal disuarakan oleh banyak orang, salah satunya berkat pemikiran Kartini.
Kartini mendirikan sekolah khusus perempuan untuk warga pribumi. Didirikan sekolah wanita di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor Kabupaten Rembang.
Berkat kegigihan RA Kartini, muncul juga Sekolah Wanita oleh Yayasan Kartini (Sekolah Kartini) di Semarang pada 1912, kemudian disusul berdirinya sekolah-sekolah serupa di Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon, dan daerah lainnya.
KOMPAS.com - Raden Ajeng Kartini atau RA Kartini adalah tokoh emansipasi wanita yang berasal dari Jepara, Jawa Tengah.
RA Kartini dikenal sebagai sosok pemberani, yang semasa hidupnya terus memperjuangkan harkat dan martabat perempuan agar bisa mendapatkan hak yang sama dengan kaum laki-laki.
Pada masa perjuangan kemerdekaan, tidak semua perempuan dapat bersekolah. Hanya perempuan bangsawan saja yang memiliki kesempatan mendapat pendidikan.
Berawal dari situ, RA Kartini terdorong untuk memajukan kaum perempuan pribumi agar tidak dipandang memiliki kedudukan yang rendah.
Lalu, apa saja perjuangan dan jasa RA Kartini untuk bangsa Indonesia?
Baca juga: Asal Usul Patung Kartini Pemberian Jepang
Mendirikan sekolah perempuan
RA Kartini merupakan putri dari Bupati jepara, Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, yang lahir pada 21 April 1879.
Karena latar belakang keluarganya, ia memiliki kesempatan untuk mendapat pendidikan yang layak.
Ia bersekolah di Europeesche Lagere School (ELS) dan belajar bahasa Belanda hingga usia 12 tahun.
Setelah itu, RA Kartini diharuskan tinggal di rumah atau dipingit. Artinya, ia tidak diperbolehkan keluar rumah dan melakukan aktivitas lain sampai menikah.
Selama menjalani pingitan, RA Kartini tidak berdiam diri. Ia tetap belajar mandiri dan menulis surat kepada teman-temannya yang berasal dari Belanda.
RA Kartini juga menghabiskan waktunya dengan membaca buku, koran, dan majalah-majalah Eropa, yang kemudian mendorongnya untuk memajukan para perempuan pribumi supaya tidak lagi dipandang rendah.
Baca juga: Biografi RA Kartini, Pejuang Emansipasi Perempuan
Salah satu perjuangan RA Kartini dalam pendidikan adalah mendirikan sekolah perempuan.
Pada 12 November 1903, RA Kartini menikah dengan Bupati Rembang, KRM Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat.
Setelah menikah, ia diberi kebebasan untuk mendirikan sekolah perempuan oleh suaminya.
Sekolah ini berlokasi di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor Kabupaten Rembang (sekarang Gedung Pramuka).
PAHLAWAN pergerakan nasional yang berjuang menyuarakan emansipasi kaum wanita Indonesia, Raden Ajeng Kartini atau yang akrab disapa RA Kartini, menghembuskan napas terakhirnya pada 18 September 1904. Kala itu, ia baru menginjak usia 25 tahun.
Bila melansir dari laman resmi Kemendikbud, perempuan asal Jepara, Jawa Tengah, itu tutup usia akibat penyakit preeklamsia tepat 4 hari setelah melahirkan putra tunggalnya, Raden Mas Soesalit.
Preeklamsia itu terjadi akibat gangguan kehamilan yang ditandai oleh tekanan darah tinggi dan kandungan protein yang tinggi dalam urinenya. Dia menghembuskan napas terakhirnya tepat di pangkuan suamin....
Perjuangan R.A. Kartini untuk Perempuan dan Pendidikan
Kartini dikenal dengan surat-suratnya dengan sejumlah orang di Belanda. Sejumlah surat di antaranya mengungkapkan bagaimana Kartini ingin memperluas pengetahuannya tentang berbagai pemikiran. Salah satu suratnya diterjemahkan Armijn Pane dalam buku Habis Gelap Terbitlah Terang:
"Kami, gadis-gadis masih terantai kepada adat istiadat lama, hanya sedikitlah memperoleh bahagia dari kemajian pengajaran itu. Kami anak perempuan pergi belajar ke sekolah, keluar rumah tiap-tiap hari, demikian itu saja sudah dikatakan amat melanggar adat." (Surat kepada Nona Zeehandelaar, Jepara, 25 Mei 1899)
"Saya tiada tahu berbahasa Prancis, Inggris, dan Jerman, sayang! --Adat sekali-kali tiada mengizinkan kami anak gadis tahu berbahasa asing banyak-banyak--kami tahu berbahasa Belanda saja, sudah melampaui garis namanya. Dengan seluruh jiwa saya, saya ingin pandai berbahasa yang lain-lain itu, bukan karena ingin akan pandai bercakap-cakap dalam bahasa itu, melainkan supaya dapat membaca buah pikiran penulis-penulis bangsa asing itu." (Surat kepada Nona Zeehandelaar, Jepara, 25 Mei 1899)
Surat-surat Kartini kelak diterjemahkan dalam berbagai bahasa untuk pembaca di Eropa, Asia, hingga Amerika lewat buku kumpulan surat Kartini oleh J.H. Abendanon, Door Duisternis tot Licht.
Gagasan Kartini untuk membangkitkan pengetahuan dan pendidikan perempuan juga ia terapkan sehari-hari. Ia mempelajari dan memahami pemikiran emansipasi yang berkembang di negara-negara lain. Berangkat dari pengetahuannya, ia kelak bercita-cita mendirikan sekolah bagi perempuan dan menjadi guru.
Sejarah Singkat RA Kartini
Kartini lahir pada 21 April 1879 atau 28 Rabiul Akhir tahun Jawa 1808 di Mayong afdeling Japara (kini Jepara). RA Kartini berasal dari keluarga priyayi atau bangsawan Jawa di Jepara. Ayahnya, Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat adalah bupati di sana.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
RA Kartini masuk sekolah dasar eropa atau Europesche Lagere School (ELS) pada 1885. Anak pribumi yang diizinkan mengikuti pendidikan bersama anak-anak bangsa Eropa dan Belanda-Indo di ELS hanya anak pejabat tinggi pemerintah.
Meskipun dari kalangan bangsawan, anak perempuan masuk sekolah dan keluar rumah merupakan langkah yang bertentangan dengan tradisi saat itu, seperti dikutip dari Pendidikan Feminis R.A. Kartini oleh Irma Nailul Muna.
Sekolah di ELS, Kartini belajar dengan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar. Kemampuan bahasanya makin kuat karena rajin membaca buku dan koran berbahasa Belanda. Kartini juga belajar bercakap dengan bahasa Belanda sambil bermain dan menerima tamu bangsa Belanda yang datang ke Jepara.
Siswa pribumi di ELS sering mendapatkan perlakuan diskriminatif seperti pandangan rendah dari sesama siswa dan guru dari Belanda. Perlakuan tersebut memacu semangatnya terus berprestasi agar bisa mengalahkan siswa lain.
Meskipun mendapat perlakuan diskriminatif dari siswa dan guru dari Belanda, Kartini justru semangat memperoleh pengetahuan lebih banyak dan berprestasi. Dikutip dari buku Sisi Lain Kartini, ia menceritakan dirinya tengah belajar pemikiran pejuang wanita dari India Pundita Ramambai pada temannya, Nyonya Nelly Van Kol.
"Tentang putri Hindia yang gagah berani ini telah banyak kami dengar. Saya masih bersekolah, ketika pertama kali mendengar tentang perempuan yang berani itu. Aduhai? Saya masih ingat betul: saya masih sangat muda, anak berumur 10 atau 11 tahun, ketika dengan semangat menyala-nyala saya membaca dia di surat kabar. Saya gemetar karena gembira: jadi bukan hanya untuk perempuan berkulit putih saja ada kemungkinan untuk merebut kehidupan bebas bagi dirinya! Perempuan Hindia berkulit hitam, jika bisa membebaskan, memerdekakan diri."
Namun setelah lulus ELS, Kartini dilarang ayahnya melanjutkan pendidikan di HBS Semarang. Saat itu, tradisi bangsawan mewajibkan anak usia 12 tahun yang sudah dianggap dewasa untuk dipingit. Saat dipingit, anak perempuan tidak boleh keluar rumah, termasuk ke sekolah, karena harus menyiapkan diri untuk menikah dan menjadi ibu rumah tangga.
Karena itu, Kartini juga tidak mendapat izin untuk lanjut sekolah di Belanda seperti tawaran orangtua Letsy, temannya. Ia lalu dipaksa belajar aturan putri bangsawan, seperti berbicara dengan suara halus dan lirih, berjalan setapak dan menundukkan kepala jika anggota keluarga yang lebih tua lewat.
Kartini yang dipingit mengesampingkan kekecewaannya tidak lanjut sekolah dengan membaca dan mencatat. Sejumlah catatannya termasuk pandangan hidup yang bisa dicontoh, jiwa dan pemikiran besar, dan perilaku yang baik.
Ia juga berkirim surat pada sahabatnya untuk mempelajari pemikiran baru dan menyampaikan keinginannya tentang dunia pendidikan di daerahnya. Terjemahan surat-surat Kartini kelak membuka bahwa dirinya punya berbagai gagasan untuk mengangkat derajat kaum perempuan bumiputera di dunia internasional lewat pendidikan.
Kartini pun menikah pada 8 November 1903 dengan Bupati Rembang. Kesehatannya melemah setelah melahirkan anaknya pada 13 September 1903. Pada 17 September 1903, Kartini wafat dalam usia 25 tahun.
Kendati tak melanjutkan pendidikan seperti harapan semula, sebelum wafat, Kartini mencoba berbagai langkah agar dirinya dan perempuan di sekitar bisa maju dengan pendidikan.
Selanjutnya perjuangan R.A. Kartini untuk pendidikan>>>
Hari Kartini diperingati setiap tanggal 21 April. Hari besar nasional ini kerap menjadi momentum bagi siswa di sekolah maupun lingkungan rumah untuk mengenal kembali sejarah singkat dan perjuangan RA Kartini.
Raden Ajeng (R.A.) Kartini dikenal dengan surat-surat kirimannya tentang emansipasi perempuan dan semangat maju dengan pendidikan. Berikut kisahnya.
Mendirikan Sekolah Kartini
Kartini dan adiknya lalu memutuskan membuka sekolah untuk anak-anak gadis pada Juni 1903. Sekolah Kartini menekankan pembinaan budi pekerti dan karakter anak sehingga suasana sekolah diciptakan seperti suasana di rumah.
Sekolah berlokasi di pendopo kabupaten. Kegiatan belajar mengajar berlangsung empat hari seminggu, Senin-Kamis. Murid belajar 4,5 jam sehari, pukul 8 pagi-12.30 siang. Kartini banyak menghabiskan waktu memikirkan pengelolaan sekolah barunya karena minat masyarakat yang ingin menyekolahkan anaknya bertambah.
Di tengah masa tersebut, ia memutuskan menikah dengan Bupati Rembang Raden Adipati Djojo Adiningrat pada 8 November 1903. Kartini juga mengalihkan beasiswa studi ke Batavia yang ia dan Roekmini dapat tidak lama setelahnya ke orang lain.
Surat lamaran suaminya diterima Kartini dengan syarat sang Bupati Rembang menyetujui dan mendukung gagasan dan cita-cita Kartini. Kartini juga harus diizinkan membuka sekolah dan mengajar putri-putri bangsawan di Rembang.
Sekolah yang sudah dirintis Kartini terkendala setelah ia wafat. Keluarga Abendanon dan Nyonya Van Deventer kelak membangun beberapa sekolah nama Sekolah Kartini. Seiring waktu, sekolah Kartini berkembang ke kota-kota lain, dengan program pendidikan yang mendukung keterampilan siswa.
Raden Ajeng Kartini atau RA Kartini dikenal sebagai tokoh emansipasi wanita di Indonesia. Perjuangan RA Kartini pun diperingati setiap tanggal 21 April.
Perjalanan Kartini dalam memperjuangkan hak perempuan pun berat dan berliku. Masa itu, perempuan dianggap tidak layak untuk mengenyam pendidikan.
Dikutip dari buku Sisi Lain Kartini karya Djoko Marihandono-Yudha Tangkilisan dan Dri Arbaningsihn-Nur Khozin, berikut sejarah tentang RA Kartini mulai dari masa perjuangan hingga akhir hayatnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Upaya Kartini Melanjutkan Pendidikan
Kartini pernah berupaya mencari beasiswa dengan mengirim surat pada sahabatnya Nyonya Ovink Soer. Peluang mendapatkan pendidikan sedikit terbuka saat pemerintah Belanda mengumumkan politik kolonial baru pada September 1901.
Kelak Ratu Wilhelmina dalam sidang parlemen memproklamasikan politik etis yang mengharuskan pemerintah untuk menyejahterakan masyarakat jajahan di Hindia Belanda. Gagasan emansipasi dan cita-cita Kartini untuk maju dengan pendidikan mulai jadi perhatian pemerintah Hindia Belanda.
Pada 8 Agustus, Direktur Departemen Pendidikan, Kerajinan, dan Agama J.H. Abendanon mengunjungi Jepara. Ia menyampaikan, ada rencana pendirian sekolah asrama atau kostchool untuk gadis bangsawan. Kartini mendukung rencana ini dengan harapan perempuan menyadari hak mereka selama ini terampas.
Abendanon terkesan dengan penjelasan Kartini yang menyarankan pembukaan pendidikan kejuruan agar perempuan terampil dan mandiri, tidak bergantung kepada laki-laki. Tetapi, sebagian besar bupati menolak surat edaran Abendanon tentang kostschool dengan alasan aturan adat bangsawan tidak mengizinkan anak perempuan dididik di luar.
Kelak saat diundang ke Batavia oleh Abendanon, Kartini ditawari Direktur HBS Batavia Nona Van Loon untuk melanjutkan studi di sekolahnya. Saat itu, ayah Kartini juga mengizinkannya untuk melanjutkan studi menjadi guru.
Kendati pendirian kotschol terhambat, keinginan Kartini atas pendidikan demi menyamakan derajat laki-laki dan perempuan sampai di telinga anggota parlemen Belanda, Van Kol. Ia lalu menawari Kartini untuk sekolah di Belanda bersama adiknya Roekmini dengan biaya pemerintah.
Tetapi atas bujukan dan tekanan orang bumiputra dan keluarga Abendanon, ia urung ke Belanda.